Melihat Masyarakat Bali Mengelola Alam Melalui Prasasti dan Kebudayaan

27 Juni 2025

Nenek moyang kita di masa lalu telah menyadari betapa pentingnya keberadaan hutan bagi kehidupan mereka. Bahkan di beberapa kesempatan hutan dianggap memiliki nilai sakral dan magis, sikap tersebut tidak lain merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian dari hutan. Kesadaran ini lekat dengan konsep Tri Hita Karana–yang dikenal oleh masyarakat Hindu-Bali dan tumbuh menjadi acuan bagi masyarakat dalam menjaga serta menghormati keberadaan alam termasuk hutan dan segala isinya (Sanjaya, 2020; Sutana & Wibawa, 2021).

Periode Bali Kuno

Istilah “Bali Kuno”digunakan untuk menandai salah satu fase perkembangan sejarah klasik di Pulau Bali. Penyebutan istilah Bali Kuno pertama kali dikenalkan oleh Goris dalam salah satu karyanya yang berjudul “Sedjarah Bali Kuno” pada tahun 1948. Dalam karyanya, Goris menulis peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di Bali, mulai dari berbagai prasasti berbahasa Sanskerta abad ke-8 Masehi, hingga hadirnya ekspedisi Majapahit untuk menaklukan Bali pada 1265 Saka atau 1343 Masehi(Laksmi, 2016). Penaklukan yang dilakukan oleh pasukan Majapahit terhadap Bali sekaligus menjadi penanda dari berakhirnya kerajaan Bali Kuno yang awalnya bersifat merdeka (Astra, 1997). Periode Bali Kuno merupakan kepingan sejarah yang memiliki arti penting dalam perjalanan hidup masyarakat Bali. Periode tersebut juga disebut menjadi puncak keemasan bagi sejarah klasik di Pulau Dewata. Banyaknya prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja yang silih berganti menjadi pemimpin di Pulau Bali menjaditolak ukur akan hal tersebut. Prasasti adalah salah satu data artefaktual yang dapat digunakan sebagai data utama untuk mengungkap peristiwa-peristiwa sejarah di suatu wilayah. Mengingat prasasti merupakan maklumat resmi yang dikeluarkan oleh raja pada masa pemerintahanya, sehingga prasasti memiliki kredibilitas tinggi yang tidak dapat diragukan keberadaannya (Boechari, 1977; Prihatmoko, 2017). Melalui data prasasti yang ditinggalkan pada masa Bali Kuno, setidaknya dapat memberikan gambaran terkait aktivitas atau kegiatan yang tergolong ke dalam upaya-upaya pelestarian alam serta lingkungan hidup pada masa tersebut (Setiawan, 2011).

Upaya-Upaya Pengelolaan Alam Masa Bali Kuno

Kegiatan pengelolaan alam merupakan aktivitas penting yang telah disadari masyarakat Bali Kuno. Salah satu upaya pengelolaan alam yang sudah diterapkan pada masa tersebut adalah adanya larangan khusus terkait penebangan pohon-pohon tertentu yang digolongkan sebagai kayu larangan (Setiawan, 2011). Keterangan pada prasasti Ujung A yang dikeluarkan oleh raja Udayana pada masa pemerintahannya menegaskan, bahwa pohon- pohon yang termasuk ke dalam kayu larangan hanya dapat ditebang apabila pohon-pohon tersebut tumbuh di tempat yang dianggap tidak layak dan pada saat menebangannya harus berdasarkan ketetapan yang tertuang di dalam prasasti (Setiawan, 2011). Adapun kutipan dari bagian teks prasasti Ujung A (Goris, 1954) adalah sebagai berikut:

IVa.3-5 …” mangkana dadya ya rugaken sakwehning kayu larangan, makadi kemiri, bodi, sekar kuning, yan hada ya hangebiumah, tirisan, hama kayu, pohman, kunang kapwatan witakna tan katampuhana dosa…”

Artinya:

IVa.3-5 …” demikianlah (mereka) diizinkan menebang segala macam “kayu larangan” seperti pohon kemiri, pohon bodhi, pohon sekar kuning jika ada diantara pohon-pohon tersebut menaungi rumah, pohon kelapa, balai pertemuan, dan semua perbuatan itu tidak akan disalahkan…”

Berdasarkan prasasti Ujung A menunjukan adanya pohon-pohon tertentu yang dianggap memiliki nilai khusus pada masa Bali Kuno. Penduduk desa hanya diizinkan untuk menebang pohon yang termasuk ke dalam kayu larangan apabila memiliki pertimbangan dan alasan yang jelas (Setiawan, 2011). Dapat diasumsikan bahwa pohon-pohon yang tergolong dalam kayu larangan jika keberadaannya tidak mengganggu aktivitas penduduk sebagaimana yang tertera pada isi prasasti, maka dapat dipastikan pohon-pohon tersebut akan dilindungi dan tidak akan pernah ditebang oleh para penduduk. Informasi yang ditinggalkan oleh raja Udayana dalam bentuk prasasti mengisyaratkan bahwa pemerintah dan penduduk telah menganggap isu pelestarian lingkungan sebagai permasalahan yang patut mendapat perhatian khusus. Kesepakatan yang tertera dalam prasasti Ujung A menjadi wujud konkret yang dapat dilakukan antara pihak kerajaan dan penduduk dalam upaya mengelola serta melestarikan alam.

Upaya pelestarian alam khususnya hutan pada masa Bali Kuno tidak hanya dituangkan dalam bentuk regulasi atau peraturan semata. Dari sisi birokrasi masyarakat Bali Kuno telah mengenal istilah hulu kayu sebagai pejabat khusus yang memiliki tugas dan tanggung jawab setara dengan kepala pengawas kehutanan (Goris, 1954). Catatan tertulis yang didalamnya menyebutkan istilah hulu kayu adalah prasasti Tengkulak A, adapun kutipan dari bagian teks prasasti Tengkulak A adalah sebagai berikut “…irikā diwaṡa nikanang karāman songan tambahan sapanambahan hulu kayu dity, manuratang bamana, rama kabayan…, manambah i pāduka haji…” (Ginarsa, 1961). 

Kutipan prasasti tersebut memberikan informasi bahwa terdapat seorang pejabat hulu kayu bernama Dity yang memiliki wewenang di wilayah (karāman) Songan Tambahan (Bagus & Prihatmoko, 2016). Ditetapkannya seorang hulu kayu dalam jajaran birokrasi kerajaan Bali Kuno merupakan langkah bijak yang diambil oleh raja sebagai bentuk antisipasi terhadap aktivitas-aktivitas yang dapat merusak hutan. Keberadaan hulu kayu pada masa Bali Kuno mengindikasikan adanya upaya pengaturan terhadap penebangan pohon-pohon di kawasan hutan. Tujuannya jelas agar pemanfaatan pohon-pohon di hutan tidak dilakukan secara sewenang-wenang oleh masyarakat.

Pada hakikatnya, upaya-upaya pelestarian alam yang dilakukan pada masa Bali Kuno tidak terlepas dari peran seorang raja sebagai tokoh pemimpin dan masyarakat sebagai pelaksana dari peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Prasasti Ujung A dan Tengkulak A menjadi bukti bahwa sinergi antara pemerintah dengan masyarakat merupakan fondasi yang diperlukan untuk menjaga kelestarian alam dan sumber dayanya. Data tertulis yang ditinggalkan oleh raja-raja pada masa Bali Kuno hendaknya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk merefleksikan kembali mengenai permasalahan seputar alam dan lingkungan hidup yang sedang dihadapi oleh masyarakat di Indonesia.

Hubungan manusia dengan alam memang sudah terjalin sedemikian rupa. Begitu pula dengan masyarakat Bali yang memandang keharmonisan antara manusia dengan alam sebagai salah satu tujuan dalam menjalankan hidup. Penelusuran jejak-jejak yang ditinggalkan oleh nenek moyang pada masa Bali Kuno semakin menguatkan bahwa permasalahan terkait pengelolaan alam sudah menjadi perhatian khusus dan urgensi bersama pada saat itu. Penyebutan istilah kayu larangan dan hulu kayu dalam prasasti-prasasti masa Bali Kuno menjadi indikasi akan adanya kegiatan pengelolaan alam yang telah dilakukan. Upaya masyarakat Bali Kuno dalam mengelola alam seakan menjadi memori kolektif yang tarsus diwariskan dan diingat oleh generasi-generasi berikutnya. Hal ini terbukti dari adanya kearifan lokal yaitu Tumpek Wariga yang berbasis sastra, budaya, dan agama sehingga memiliki visi dan misi yang sama dalam usahanya mengelola dan menjaga alam dari segala jenis pengrusakan.

Referensi Bacaan

Astra, I.G.S. 1997. “Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno abad XII-XIII: Sebuah Kajian Epigrafis”. Disertasi, Jurusan Arkeologi, Fakultas sastra, Universitas Gadjah Mada.

Bagus, A. A., & Prihatmoko, H. (2016). Kearifan Lokal Dalam Pembangunan Kompleks Candi Gunung Kawi. Forum Arkeologi Vol. 29, No. 2, 105-116.

Goris, R. (1954). Prasasti Bali 1. Bandung: N.V. Masa Baru

Ginarsa, I.K. 1961.”Prasasti Baru Raja Marakata”. Bahasa dan Budaya IX (1 dan 2): 3-17. 

Laksmi, N. K. (2016). Menggali Makna Drwyahaji dan Buncanghaji Berdasarkan Data

Prasasti Bali Kuno. Forum Arkeologi Vol. 29, No. 2, 55-64.

Martini, N. N. (2019). Kajian Tri Hita Karana Dalam Perayaan Tumpek Wariga. Kamaya: Jurnal 

Ilmu Agama Vol.2, No. 3, 238–245.

Moleong, J. Lexy. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. 33rd ed. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Putra, I. W. (2020). Etika Lingkungan Dalam Upacara Tumpek Wariga Pada Masyarakat Bali. SRUTI: Jurnal Agama Hindu Vol. 1, No. 1, 93-101.

Paramita, I. G. A. (2018). Disequilibrium Bhuana Agung Dan Bhuana Alit. Vidya Wertta: Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia Vol. 1, (2), 72-77.

Prihatmoko, H. (2016). Kajian Epigrafis Prasasti Babahan. Forum Arkeologi Vol. 29, (3), 117-136.

Setiawan, I. K. (2011). Usaha-Usaha Pelestarian Lingkungan Hidup Pada Masyarakat Bali Kuno Berdasarkan Rekaman Prasasti. Jurnal Bumi Lestari, Vol. 11, No. 2, 355-359.

Sanjaya, P. (2020). Hutan Lestari: Aspek Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhinya.

Denpasar: UNHI Press.

Sudarsana, I. K. (2017). Konsep Pelestarian Lingkungan Dalam Upacara Tumpek Wariga Sebagai Media Pendidikan Bagi Masyarakat Hindu Bali. Religious: Jurnal Studi Agama- Agama dan Lintas Budaya 2, 1, 1-7.

Suseni, K. A. (2021). Tumpek Wariga Sebagai Aktualisasi Ajaran Tri Hita Karana Untuk Pelestarian Lingkungan (Hukum Alam). PARIKSA Vol. 5, No.2, 9-16.

Sutana, I. G., & Wibawa, G. Y. (2020). Wana Kertih: Konsep Penyucian dan Pelestarian Hutan Masayarakat Hindu Bali. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja, 90-100.

Yanti, P. F., & Nurhayati, I. K. (2018). Aktivitas Komunikasi Dalam Ritual Keagamaan (Studi Etnografi Komunikasi Dalam Ritual Tumpek Wariga di Bali). DIALEKTIKA: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 5, No. 2, 40-46.

Bandem Kamandalu

Bandem Kamandalu lulusan Arkeologi, Universitas Udayana. Saat ini sedang aktif mengembangkan komunitas berbasis media, edukasi, dan riset bernama Nuturang.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

Kondisi Pangan Dunia dan Dampaknya Pada Kita

Next Story

Catatan Belajar #1

Latest from Amatan

Kopi dan Budaya untuk Terjaga 

Budaya ngopi seolah menjadi salah satu budaya paling digemari hari-hari ini. Mulai dari sekedar nongkrong atau memang menggemari kopi, semua orang berbaur di bawah

Don't Miss