Dalam edisi catatan personal #1 ini, tim Dimusim menemui Guntur Juniarta dan mendengarkan pengalamannya tentang bagaimana bambu bertransformasi menjadi hal yang melekat pada dirinya dan desanya, Tigawasa. Pada satu titik ia percaya bahwa bambu menjadi simbol kesetaraan. Melalui Mai Kubu, ia membangun ruang untuk penghargaan dan pelestarian bambu di desanya.
“Aku Guntur, dari Desa Tigawasa, salah satu desa yang berbeda dari desa umumnya di Bali. Terletak di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, 10 menit dari area Lovina. Buleleng tidak hanya punya dolphin tapi juga punya bambu yang sangat multifungsi. Yang selalu kita butuhkan, yang selama ini menurutku menjadi material yang terpinggirkan. Ia termasuk rumput, rumput yang berbeda. Karena fungsinya itu, rumput seolah nggak ada gunanya, tapi bambu menurutku “rumput” yang berbeda.”

Gimana awal mula terbentuknya Mai Kubu?
“Aku tuh memang lahir dari keluarga pengrajin bambu, bukan hanya keluargaku, tapi sebagian besar masyarakat di desaku. Jadi dari kecil memang sehari-hari pasti mainnya dekat dengan bambu. Terus karena sering lihat pengrajin, jadi ikutlah nyobain (menganyam). Saat sekolah aku menyadari uang jajan dan bekal dari orang tua itu, ya dari hasil mengolah bambu.”
“Nah pas kuliah, covid di tahun 2020 aku harus balik ke desa. Saat itu banyak teman-teman yang juga pulang ke desa, teman yang jarang ketemu juga akhirnya ketemu lagi. Di satu sisi banyak dengar cerita dari pengrajin yang mengalami kesulitan selama pandemi. Dimana harga kerajinan turun, permintaan juga turun, karena pada saat itu banyak waktu senggang di desa akhirnya aku ngajakin teman-teman buat bikin kegiatan kumpul bersama. Kegiatan kumpul itu akhirnya menjadi kegiatan menganyam bareng, pengrajin bambu sukarela ngajarin anak-anak muda buat menganyam.”
“Di titik itu akhirnya aku punya ide untuk bikin platform di Instagram (IG) untuk memperkenalkan cerita dari pengrajin sekaligus membantu promosikan produk bambu mereka, itu di Oktober 2020. Inspirasinya terjadi karena ada masalah, pandemi itu, tapi ya karena gerakan-gerakan di luar juga akhirnya ruang ini jadi gerakan di desa. Tahun 2020 aku bikin platform Mai Kubu, dan bertahan sampai sekarang. Kenapa sebutannya Mai Kubu? itu sering kami utarakan di Tigawasa untuk mengajak teman untuk sekedar mampir atau pulang. Singkatnya berarti “Ayo Pulang!”. Aku ingin nama itu menjadi pembawa pesan untuk kami selalu ingat rumah, ingat juga darimana kami berasal.”
Sejak kapan mulai menganyam?
“Dari SD, nggak menganyam full. Jadi menganyam itu panjang prosesnya. Mungkin aku ceritakan sedikit prosesnya, ya. Pertama kita panen bambu, dari jenis bambu kami biasa pakai bambu buluh dan bambu tali, itu yang umum. Bambu buluh itu kelebihannya adalah ruasnya panjang, nggak terlalu tebal dan diameternya nggak terlalu lebar, kisaran 8 cm. Secara teknik memudahkan kita untuk memisahkan bagian kulit dengan dalamnya bambu. Per ruasnya panjang, bisa sekitar 1 meter lebih. Saat proses panen bambu kami percaya bahwa panennya itu nggak boleh di hari minggu. Dan sudah menjadi kepercayaan, mungkin ngaruh juga pada hari baik atau dewasa ayu. Kalau kepepet sih ada aja yang nyari hari minggu, hehe.”

“Saat panen kita pilih bambu yang usianya sekitar 1-2 tahun, kalau ketuaan kadar airnya cuma sedikit, jadi gampang patah. Kalau di bawah satu tahun kan masih rebung. Biasanya kita memilih bambu yang tumbuhnya lurus, bukan yang lengkung. Kalau lurus kandungan airnya tersebar rata di bambu tersebut. Saat panen biasanya pengrajin bambu mengambil bambu di tepi jurang, di tempat yang kurang produktif.”
“Setelah panen biasanya dibikin model sokasi dibagi per segmen, per ruas itu dipotong, misalnya perlu bahan yang 1 meter, kalau yang pendek kita harus pakai 2 ruas dan itu mempersulit proses anyaman. Setelah itu dikerik, bagian terluar dari bambu itu dikerik, untuk mempermudah proses pewarnaan juga dan menghindari tekstur bambu yang tajam. Pewarnaan dilakukan untuk memudahkan kita menentukan motif pada produk bambu. Maksimal 7 mili per helai, minimal 2 mili. Setelah itu helai bambu dianyam, dimulai dengan membuat alas, pola, dan diawali dengan membentuk alas sokasi. Itu namanya proses ngulat, setelah itu dilakukan proses mucuin, proses menganyam yang arahnya vertikal. Pada saat mucuin kita membentuk sudut dari sokasi, dianyam dan ditentukan tingginya. Setelah itu ngalisin, untuk mengunci bagian pinggirnya. Ada juga mipihin, tujuannya sama untuk mengunci. Setelah itu dipotong sisa-sisan dari bambunya.”
Sejak kapan orang Tigawasa berhubungan dengan bambu?
“Pertanyaan ini sering sekali ditanyakan, tapi kami juga nggak tau sejak kapan mulanya. Menurut pengamatanku bambu ini ada sejak budaya di Tigawasa ini ada. Yang jelas itu. Karena pada saat upacara desa itu, kami betul-betul tidak bisa terlepas dari bambu. Saat prosesi kematian, pada saat mau menanam mayat itu, apapun background seseorang harus pakai bambu sebagai kendaraan terakhirnya. Karena itulah Mai Kubu mengambil satu pelajaran, puncak makna dari bambu di Tigawasa adalah kesetaraan. Apapun background kita, punya uang banyak atau nggak itu dipandang sama, kendaraan terakhirnya pasti bambu.”
Lalu, sejak kapan bambu jadi komoditi utama disana?
“Ketika bambu difungsikan dalam upacara itu sebenarnya sudah dalam bentuk produk yang difungsikan sehari-hari. Dengan jejak itu kemungkinan besar bambu sudah diperjualbelikan dalam kehidupan sehari-hari. Ini juga menjadi visi kami di Mai Kubu, bagaimana cara mempertahankan bambu di Tigawasa ini. Karena sekarang semakin tergerus si bambu ini. Upaya melestarikan bambu dilakukan dengan menciptakan produk yang diciptakan masyarakat sehingga mereka juga bangga akan produk itu. Tergerusnya bambu, karena bambu dianggap murah dan masyarakat lebih percaya dengan komoditi lain yang bisa membantu ekonomi mereka. Mereka kurang paham makna bambu dari sudut pandang yang luas. Kebanyakan menilai dari harganya. Karena mereka tidak terbantu secara ekonomi.”
Kenapa kamu menyadari ada value dalam bambu?
“Dari sisi ekonomi untuk peminat handmade nggak bakal mati, bakal selalu ada. Itu nilainya jauh dari produk mesin, ada sentuhan tangan, energinya berbeda. Dari sisi ekologi lingkungan, bambu itu menjadi tumbuhan yang sangat membantu lingkungan, khususnya untuk menjaga air, bambu punya akar seperti spons yang menyerap air dan oksigen sangat banyak. Bambu bisa sama seperti fungsi kayu, dengan keunggulan bambu yang bisa kita manfaatkan dari umur 1 tahun. Dari fungsi lain, bambu itu bisa dibentuk berbagai macam dari yang paling lentur sampai paling kuat. Bambu juga adaptif, tidak perlu maintenance khusus untuk bisa hidup dan berkembang, bambu bisa hidup di suhu minus dan panas sekalipun.”

“Sayangnya produk bambu semakin tergerus karena dianggap murah. Misal saja kita punya rumah di desa dengan dinding bedeg, itu dicap nggak mampu. Kalau dia nggak punya mental kuat pasti dia berusaha untuk memperbaikinya. Nah, sekarang aku mencoba bikin gerakan untuk menggunakan bambu sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Sebab dari sisi ritual dan kepercayaan, pekarangan desa Tigawasa asli yang masih menjalankan ritual kebudayaan asli, kita nggak punya sanggah di rumah seperti desa lainnya. Kita hanya menggunakan bambu yang dibentuk dan ditaruh dalam kamar, itu menjadi tempat pemujaan tertinggi kita kalau meminta pertolongan, dan juga di rumah panti dimana ada sanggah dadia, itu kita di pusat desa punya rumah panti, di situ ada sanggah berjejer dimana sanggah untuk tempat pemujaan yang kita percaya bersemayam di Desa Tigawasa itu bentuknya dibuat dari bambu. Dan itu diganti setiap kali ada upacara, sanggahnya tidak permanen. Jadi ada satu sanggah tempat kita memuja sesuhunan desa gitu, nah itu dibuat dari bambu pada saat upacara, di upacara berikutnya diganti lagi, pada saat membuat sanggah itu harus ada proses nyikut, itu maknanya dalam banget, menurut tetua desa sebenarnya bisa aja mereka buat sanggah itu tanpa diukur terlebih dahulu, tapi menurut mereka, sebelum sanggahnya dibuat mereka harus nyikut, supaya warisan itu berlanjut dan tidak putus.”
“Bambu ini juga dipakai tempat air suci, misal kita mau nunas tirtha dimana, kita masih pakai bambu/bumbung. Makanya selalu dikenal, negen bambu, oh ini pasti Tigawasa. Turun temurun gitu. Sukla dan anyar. Fresh. Tidak dibeli/ditimbun. Sarana upacara disini tidak hanya sukla, tapi harus anyar. Misal seperti daun potong, kalau desa lain biasanya cenderung membeli jauh hari. Dari bentuk bantennya kita punya sendiri. Upacara di Tigawasa itu nggak pernah punya tanggal pasti, kita melangsungkan upacara dengan dasar keadaan desa dan kesiapan kita. Contohnya upacara mersihin, habis membangun pura itu. Kita juga punya ritual, kalau desa sudah memutuskan itu pasti sudah ada runtutannya, itu saba desa. Galungan nggak selalu. Kita biasa-biasa aja, paling sembahyang di kamar aja. Di desa adanya Pura Gedong Besakih, pura desa, pura segara, pura dalam bentuk hutan. Jadi ada 9 pura dalam bentuk hutan, tapi kita yakin itu pura, kita menyebutnya upacara mekiis. Mekiis nggak cuman ke segara, tapi ke pura juga. Aku belum pernah dengar konsep konservasi yang keren seperti itu, dimana hutan disebut pura. Secara ritual, banten ada, sehari-hari masyarakat juga ada, pura dalam bentuk hutan ini nggak ada pagar, masyarakat nggak berani karena sudah yakin itu disakralkan. Kalau pemangku kebijakan mulainya dari nilai itu pasti akan bagus. Kalau saat ini mulai ada villa, ya ownernya dari luar karena kita nggak tahu potensi kita, kebablasan harus dijual lah.”
Apa langkah selanjutnya dari Mai Kubu?
“Pertama, kita mau fokus di produk. Itu yang realistis untuk mengangkat nilai bambu ini. Kita harus bikin produk yang bisa diterima. Bukan hanya diterima ya, kita yang bikin trend sendiri dan orang-orang kalau memilih bambu nggak merasa di “bawah”. Kita buka ruang yang ingin tahu proses menganyam, ketemu pengrajin karena itu bakal ngaruh ke mental pengrajin dan mental kami di desa, makin bangga. Itu ruang kami di desa untuk bertemu dengan orang luar.”
Proses tersulit dari menganyam?
“Pembahanan, lumayan sulit. Kita bikin bahan sebelum dianyam itu, pada saat nyebit itu. Pada saat menganyam kan hanya bikin pola, bisa nyontek. Semua pengrajin bisa produksi dan bisa semua step itu. Dari beberapa jenis bambu, ada tiga bambu kesukaan: bambu tali, bambu buluh, dan bambu bali. Bambu tali sangat lentur dan nggak mudah patah kuat juga dan seratnya bagus, bambu buluh ruasnya panjang dan fleksibel, Bambu Bali memang ada di Bali saja ada di Tigawasa dan Pedawa, dipakai sanggah khusus itu, dipercaya paling suci, fisiknya juga halus dan nggak ada medangnya. Halus dia.”
Gimana soal sumber air di Tigawasa dan hubungannya dengan bambu?
“Sangat jauh berkurang debitnya, sumber airnya kebanyakan dekat sungai, dan dekat pura hutan. Tapi secara umum debit kayehan, tongos kayeh rata-rata berkurang, yang dulu masih banyak sawah sekarang sudah beralih fungsi, dan aku yakin itu karena berkurangnya bambu. Kebanyakan bambu dekat sumber air. Di hulu juga sangat mempengaruhi debit, hulunya di Gobleg, dekat Danau Tamblingan. Berkurangnya bambu karena komoditi lain yang nge-trend seperti cengkeh. Dulu waktu masih ada padi gaga, air masih ada, kebetulan juga jenis padi ini yang nggak harus ada airnya. Kalau menurut cerita orang tua, dengan padi gaga itu udah mandiri banget pangannya.”
“Waktu SD jalan beramai gitu kita sering dah ngelempar bambu di sepanjang jalan, sampai segitunya saking banyaknya bambu dulu. Pengrajin banyakan ibu-ibu, yang cowok bikin bedeg dan cewek sokasi. Karena pekerjaan bedeg cukup berat, pembagian kerja itu adil.
Harapan untuk Desa Tigawasa dan Mai Kubu?
“Aku tuh punya kecintaan sama yang berpengaruh dalam hidupku, yang memberi manfaat banyak bagiku. Masak kita lupa? Karena dari kecil aku disitu, aku pasti terketuk dengan hal-hal seperti itu. Aku tau persis orangtuaku menganyam untuk aku dapat bekal. Aku tau persis prosesnya, nggak segampang itu. Ibuku kan pengrajin, aku ingin ibuku bangga dengan proses itu.Yang awalnya nggak percaya diri nentuin harga akhirnya bisa mengajukan penawaran, dari yang ketemu pengepul mereka nggak pernah berkesempatan mengajukan harga, akhirnya sekarang bisa.”
“Aku berharap kemanapun kita melangkah dari nilai-nilai yang sudah ada, itu harus kita bawa. Untuk Mai Kubu aku berharap semoga ruang ini bisa membangkitkan potensi dan jiwa yang terpinggirkan khususnya buat pengrajin ya. Untuk bambu, harapannya tetap ada dan kalaupun sekarang bambu terpinggirkan, nanti pasti akan dicari kok. Kami belum percaya diri untuk mengajak teman-teman lain untuk menanam bambu, karena itu asing di desa. “Bambu pule! masak mule tiing?” karena begitu mudahnya bambu ditemui disini.
