Meningkatnya suhu global berdampak besar dalam memperbesar kesenjangan antara jumlah pangan yang diproduksi dengan total kebutuhan pangan masyarakat dunia. Pada 2050 akan ada sekitar 10 miliar orang, itu berarti produksi pangan perlu meningkat 100%. Namun sebelum mencapai target tersebut, kita masih menghadapi beragam tantangan dalam memenuhi kebutuhan asupan masyarakat. Hingga kini tingkat kelaparan di dunia masih tinggi. Berdasarkan laporan Global Hunger Index (GHI) 2023, sejak 2017 prevalensi gizi buruk—salah satu indikator dari perhitungan skor GHI—mengalami peningkatan dari 572 juta menjadi 745 juta jiwa. Selain itu, berdasarkan laporan Joint Malnutrition Estimates (JME) 2023 dari World Health Organization (WHO) menemukan masih banyaknya anak-anak yang mengalami malnutrisi. Dalam beberapa dekade terakhir, ada 22,3% anak-anak di bawah usia 5 tahun mengalami stunting dan 6,5% mengalami wasting. Kemudian ada 73 juta anak-anak di bawah usia 5 tahun yang mengalami kelebihan berat badan sejak tahun 2000.
Tantangan dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat juga terjadi di Indonesia. Menurut GHI, kelaparan di Indonesia berada pada peringakt 77 dunia. Asupan gizi anak-anak di Indonesia juga masih tergolong rendah. Berdasarakan hasil Survei Kesehatan Indonesia (2023) mencatat prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,5% dan menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara. Kendati mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir, perkembangan ini belum memenuhi target RPJMN 2020-2024 dengan target stunting 14% pada 2024.
Permasalahan kelaparan dunia saat ini tidak terlepas dari dampak perang, pandemi COVID-19, hingga krisis iklim. Dunia dituntut untuk meningkatkan produksi pangan di tengah permasalahan sosial dan lingkungan yang semakin terdegradasi. Bahkan menurut pantauan EU’s Copernicus Climate Change Service, dalam periode Februari 2023 hingga Jaunari 2024, suhu bumi meningkat 1,52C. Peningkatan suhu bumi masih terus berlanjut, pada April 2024 tercatat suhu bumi meningkat 1.58C. Bahkan pandangan “semi-distopia” di masa depan muncul dalam bayangan para ilmuan—kondisi dunia dengan kelaparan yang meningkat, konflik, migrasi masal, gelombang panas, kebakaran hutan, banjir, hingga badai yang terjadi melebihi intensitas sebelumnya.
Sementara itu di Indonesia, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam Pandangan Iklim 2024 memprediksi akan terjadi anomali suhu udara antara +0,23C hingga +0,36C—lebih hangat dibanding periode 1991-2020. April 2024 pun menjadi bulan dengan suhu terpanas di Indonesia yang mencapai 27,74C—padahal suhu normal pada Bulan April mestinya sekitar 26,85C. Fenomena ini berdampak pada pergeseran musim tanam akibat kekeringan, sehingga berpengaruh terhadap penurunan produksi dan kualitas panen. Bahkan beberapa tahun sebelumnya, berdasarkan Neraca Bahan Makanan pada 2018-2020, belum semua pangan strategis dapat terpenuhi secara domestik. Indonesia pun masih mengimpor kedelai (90-95%), gula pasir (65-70%), bawang putih (90-96%), dan daging sapi (25-30%). Tingkat impor yang tinggi menyebabkan Indonesia masih bergantung pada produksi pangan dunia.
Ada hubungan timbal balik antara sistem pangan kita dengan perubahan iklim. Di tengah kendala pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat akibat pemanasan global, ada aspek-aspek dalam sistem pangan saat ini yang berkontribusi pada perubahan iklim. Sistem pangan—dari apa yang kita makan, cara tanam, penyaluran dan pengelolaan, serta bagaimana kita membuangnya—punya andil atas sepertiga dari emisi gas rumah kaca (GRK). Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2019, ada sekitar 31% dari total emisi gas rumah kacal global berasal dari sektor pertanian. Aktivitas deforestasi untuk pembukaan lahan pertanian baru menjadi penyumbang terbesar yang mencapai 3.058 Mt CO2. Kemudian diikuti fermentasi enteric (2,823 Mt CO2eq) dan perternakan (1.315 Mt CO2eq). Selain itu, meskipun beberapa negara di dunia mengalami tingkat kelaparan dan malnutrisi yang cukup tinggi, masih ada sisa makanan yang belum terkelola dengan baik sehingga berdampak pada perubahan iklim. Berdasarkan Food Waste Index Report 2024 dari PBB, susut dan sisa pangan (Food Loss and Waste/FLW) menyumbang 8-10% GRK global setiap tahunnya—hampir 5 kali lipat dari emisi sektor penerbangan. Kerugian dari FLW terhadap perekonomian global pun mencapai USD 1 triliun. Begitu juga yang terjadi di Indonesia, sekitar 7,29% GRK Indonesia berasal dari FLW. Dalam kurun waktu 2000-2019 mencapai 1.702,9 MtCO2eq.
Pertanian di Indonesia pun menjadi penyumbang GRK kelima terbesar di dunia dengan 61% di antaranya berasal dari alih fungsi lahan dan kehutanan. Bahkan antara tahun 2000 hingga 2017 GRK dari aktivitas pertanian di Indonesia meningkat 62%. Perkebunan kelapa sawit menjadi pendorong kuat emisi terjadi, terutama karena deforestasi dan pengeringan lahan gambut untuk meningkatkan produksi. Selain itu, budidaya padi—sawah—juga menjadi penyumbang emisi terbesar (39%). Sebagian besar dari emisi budidaya padi ini berasal dari gas metana dari aktivitas irigasi secara terus menerus. Lalu diikuti oleh emisi peternakan (26%) lewat aktivitas ferementasi enterik, kotoran yang dibiarkan di padang rumput, produksi daging—sapi, kambing, domba, dan kerbau—potong. Selain itu, GRK akibat sistem pangan di Indonesia juga berasal dari susut dan sisa pangan.
Dampak timbal balik antara sistem pangan dan perubahan iklim tidak hanya mengganggu pola pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, tapi juga kesejahteraan petani sebagai produsennya. ‘Semangat bertani’ perlahan redup akibat pusaran ketidakpastian hasil panen karena cuaca esktrem—akibat perubahan iklim. Terlebih petani masih bergantung pada ketersediaan pupuk bersubsidi—yang kerap terlambat datang—dan benih yang terlalu mahal. Untuk itu, minat masyarakat menjadi petani semakin rendah dan profesi sebagai petani pun menurun setiap tahunnya. Masyarkat lebih banyak memilih menjadi buruh dan meninggalkan kampung halamannya. Sebanyak 32% dari angkatan kerja di Indonesia adalah buruh, kemudian sektor pertanian setelahnya. Meskipun pertanian berada di peringkat kedua, jumlahnya menurun setiap tahun, dari 44% pada 2005 kemudian 30% pada 2019.
Banyak petani di Indonesia hanya memiliki kurang dari 1 hektar tanah untuk pertanian (75%). Itu menunjukan kurangnya akses terhadap tanah bagi masyarakat di tengah ketidakstabilan hasil dan pendapatan. Tentu kondisi ini berdampak pada tingkat usia masyarakat yang beprofesi sebagai petani—rata-rata petani di Indonesia berusia 52 tahun. Profesi petani dianggap tidak menjanjikan, sehingga generasi setelahnya enggan untuk masuk ke sektor ini. Meskipun kehadirannya penting, masyarakat lebih memilih menjadi buruh, ketimbang ‘memproduksi pangan’. Ini tidak terlepas dari ketergantungan petani terhadap input-input kimia pertanian yang distribusinya telah berlangsung puluhan tahun yang lalu—ketika hadirnya revolusi hijau pada 1960an.
Penerapan revolusi hijau secara masif dilakukan pada awal 1970an dengan tujuan meningkatkan produksi beras untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam periode itu, pemerintah mulai menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan kimia dari Swiss, Jepang, dan Jerman. Ciba—salah satu perusahaan kimia dari Swiss—memperoleh keleluasaan dalam penggunaan produk pestisida dan pengaplikasiannya dengan metode aerial sprying. Kerjasama ini tidak hanya tentang pemanfaatan produk, namun strategi kampanye revolusi hijau untuk memperoleh penerimaan dari petani. Perusahaan dari ketiga negara tersebut juga memberikan pinjaman kepada pemerintah Indonesia. Imbasnya, ‘teknologi baru’ ini dianggap telah mengurangi otonomi petani, karena petani harus menggunakan input luar seperti pestisida, benih baru, dan pupuk kimia. ‘Bantuan’ pertanian itu pun langsung diberikan ke desa-desa tanpa perantara, sehingga petani tidak punya pilihan dan perlu menggunakannya. Kemudian, penggunaan aerial spraying yang dilakukan terus-menerus berdampak pada peningkatan hama yang kurang terkontrol serta berdampak secara ekologi—ikan-ikan di sekitar area pertanian keracunan akibat paparan pestisida.
Pada masa revolusi hijau produksi beras menjadi sumber pangan yang utama. Anggaran—yang juga dananya diperoleh dari donor internasional—difokuskan pada pengembangan beras baik di Jawa maupun luar Pulau Jawa. Padahal keberagaman pangan diperlukan untuk menjaga ekosistem dan mencegah kerawanan pangan akibat ketergantungan pada segelintir jenis pangan.
Warisan-warisan revolusi hijau yang dibawa hingga saat ini berdampak besar pada produksi pangan kita untuk saat ini dan nanti. Penggunaan bahan kimia berlebihan dalam jangka panjang dapat berdampak pada hama dan penyakit yang tidak terkontrol. Selain itu, pemakaian pestisida yang berlebihan juga berbahaya bagi penyerbuk alami, predator alami hama, dan berbagai organisme penting untuk alam.Beberapa ahli agroekologi dan praktisi pertanian regeneratif berpendapat bahwa sistem pangan yang berkelanjutan adalah sistem yang menggunakan teknik meniru alam. Itu berarti mengakui adanya keberagaman yang menjadi salah satu pondasi dari sistem pangan.