Dalam edisi Jejak #1 ini, Ayu Pawitri akan membagikan catatan belajar dan pengalamannya saat mengikuti proses belajar Sejarah Lingkungan di Summer School, Departemen Sejarah, Universitas Gadjah Mada pada tanggal 31 Juli – 7 Agustus 2023. Catatan belajar ini mengupas hasil catatan lapangan yang ia temui di beberapa titik di Yogyakarta, seperti pesisir Selatan Gunung Kidul dan daerah Kebun Kali Code. Perjalanan tersebut menghasilkan beberapa catatan tentang apa itu eko-teologi dan bagaimana bentuknya dalam keseharian masyarakat Yogyakarta.

Pesisir Pantai Selatan Yogyakarta
Praktik Eko-Teologi di Pedesaan
Al Insan
“Dan Allah telah mengabarkan bahwa manusia sebagai Khalifah (Al Insan), tak layak jika tak melindungi lingkungan.”
Praktik eko-teologi yang diobservasi dari penghayatan masyarakat di Pantai Watu Kodok dan Pantai Siung Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap alam secara spiritual meliputi pemaknaan bahwa diri manusia setara dengan alam. Melalui pemaknaan itu, ada rasa untuk berbagi dengan alam melalui penghormatan terhadap makhluk lain, seperti yang terjadi di Pantai Siung. Masyarakat meyakini bahwa siklus pertanian 3 tahunan diperuntukan untuk ular, tikus, dan makhluk hidup selain manusia. Siklus ini menjelaskan bagaimana dunia secara spiritual tidak hanya berfokus pada kehidupan manusia. Hadirnya siklus 3 tahunan kemudian ditegaskan kembali oleh salah satu generasi pertama yang hidup di Pantai Watu Kodok, dimana mereka melihat pantai sebagai energi spiritual besar (menyeramkan) namun di satu sisi juga memberikan sumber penghidupan bagi manusia. Dengan demikian, transkrip dari Al Insan di atas menjadi salah satu panduan, bahwa segala peri kehidupan manusia di bumi tidak terlepas dari hubungannya terhadap makhluk hidup lainnya, tak terbatas hanya pada manusia melainkan juga tumbuh-tumbuhan, hewan dan multi spesies. Melalui kesadaran inilah, etika-etika dalam menjaga lingkungan mulai muncul dalam ritus dan praktik keseharian masyarakat pesisir/pedesaan di Jawa.


Praktik Eko-Teologi di Perkotaan
“Verily, this world is sweet and appealing, and Allah as vice regents therein; He will see what you will do. So, be careful of [what you do in] this world and [what you do to/with] women, for the first test of the children of Israel was in women!” (HR, Sahih Bukhari).
Dimensi eko-teologis perkotaan dapat dilihat dari solidaritas warga Kampung Kali Code ketika membangun ekosistem yang lebih sehat dan memuliakan alam. Secara spiritual, salah satu penggiat kolektifnya menceritakan bahwa mereka juga memegang teguh nilai dalam agama Islam yaitu menjaga lingkungan, sebab ia sebagian dari iman. Di sisi lain, ritus juga masih dilakukan terutama ruwatan ari-ari dan ruwatan air sungai untuk memahami bahwa sungai dekat dengan ruang hidup warga Kali Code. Praktik eko-teologi sebetulnya juga tercermin dari posisi warganya, ketika perempuan dan alam sebagai makhluk yang setara dilibatkan dalam proses menuju kehidupan ekologis yang lebih baik. Melalui Kebun Kali Code dan melalui tembok-tembok di dalam kampung, kita dapat melihat bagaimana narasi-narasi dalam menjaga kepunahan umat manusia dan alam tercermin dalam kalimat “No Women, No Birth” serta “Future is Today”.

Praktik Eko-Teologi di Lembaga Keagamaan
Pelembagaan yang terstruktur dan hadirnya kesadaran kolektif perlu dipertanyakan, apakah kesadaran tersebut dari satu figur? Apakah sifatnya mendominasi atau secara organik menumbuhkan kesadaran ekologi dari kepercayaan di lembaga keagamaan?
Dalam catatan sekolah musim panas ini, ritus penjagaan lingkungan sebagai bagian dari membumikan petuah teologis:
- Kenduri dan Festival Khatok Abang (Celana Merah)
- Blabak & Ilmu Titen
- Pengelolaan Kebun dan Sampah
- Ruwatan Air Sungai

Teologi Pembebasan
Bertugas mengkontraskan pemikiran agama mainstream, dengan melihat secara kritis dimensi lain dari kondisi sosial tertentu dalam masyarakat. Misal; kepercayaan masyarakat Jawa di pesisir tentang Blabak yang memunculkan spiritualitas dalam menjaga ciptaan Tuhan.
In the 1980s, we realized that the logic supporting exploitation of workers was the same as that supporting the exploitation of the earth. Out of this insight, a vigorous liberation eco-theology was born. To make this movement effective, it is important to create a new paradigm rooted in cosmology, biology, and complexity theory. A global vision of reality must always be open to creating new forms of order within which human life can evolve. The vision of James Lovelock and V. I. Vernadsky helped us see not only that life exists on Earth, but also that Earth itself is a living organism. The human being is the highest expression of Earth’s creation by virtue of our capacity to feel, think, love, and worship (Boff, 2016).

Tentang Dualitas: Tuhan Langit dan Tuhan Bumi
Praktik dualitas kerap kali mengkhianati gerakan-gerakan dalam penjagaan lingkungan. Studi yang lebih interseksional, merumuskan bahwa untuk mencapai kesadaran ekologis kita perlu menghapus pemikiran dualitas yang membuat kita berpikir tentang subjek/objek, langit/bumi, manusia/binatang, ruh/barang di saat dualitas ini kerapkali berakhir pada kesempatan mengeksploitasi yang dianggap objek. Kapitalisme bekerja dalam ranah dualitas tersebut. Alam kerap kali dianggap Liyan (the others) sehingga manusia sebagai subjek merasa berhak untuk mengeksploitasi objek (re: alam, manusia lainnya dan spesies non-manusia). Begitu pula dengan konsep teologis, dalam transkrip yang sudah dikutip di atas dijelaskan bahwa kehidupan manusia seharusnya juga memuliakan (tuhan) Bumi sebagai salah satu perintah dari-Nya.

Rujukan:
Boff, Leonardo. 2016. “Liberation Ecology.” Interview, Great Transition Initiative. Available online: http://www.greattransition.org/publication/liberation-ecology
Candraningrum, D. (Ed). (2013). Ekofeminisme Dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.