Sebagai orang yang sangat suka berinteraksi, tentunya pertemuan dengan banyak orang menjadi salah satu percikan energi tersendiri. Dalam pertemuan biasanya ada yang saling tanya kabar, cerita kesibukan, hingga berita viral yang dengan mudahnya bisa diakses dari smartphone, dan yang jarang dilewatkan “nuturang timpal”, seperti yang biasa Putu dengar di lirik lagu itu. Obrolan seru bisa terjadi dimana-mana asalkan orang yang kita ajak ngobrol bisa nyambung dengan apa yang kita obrolkan, tidak “nyaplir” kalau dalam Bahasa Bali. Tempat tidak pernah menjadi persoalan, bisa di tempat kerja, Bale Banjar saat ibu-ibu rapat PKK, di peminuman, dan ada juga di coffee shop yang lumayan mahal dan dianggap sebagai tempat keren itu. Sebagai anak rantau, Putu sering merindukan situasi obrolan bersama teman-teman di desa, apalagi teman masa kecil. Momen nostalgia lewat obrolan itu selalu dirindukan. Seringkali Putu memberi kabar jauh-jauh hari sebelum pulang ke desa, berharap teman-teman di desa mengosongkan jadwal saat Putu pulang ke desa, untuk sekedar bercengkrama.

Waktu pulang ke desa adalah waktu yang paling Putu tunggu. Saat perjalanan pulang, Putu harus berdamai dengan macet, kesabaran kembali diuji. “Ya, mungkin ada bus rame, maklum musim liburan, banyak pelancong datang ke Bali, kan pariwisata untuk kesejahteraan Bali,” ungkap Putu kepada anak istri untuk menyejukkan situasi. Setelah 5 jam perjalanan akhirnya Putu tiba di desa tercinta, perjalanan yang lumayan melelahkan. Meski begitu lelah, itu terbayarkan dengan sambutan ramah saudara di desa yang terasa hangat dan selalu membuat Putu nyaman berada di desa. Ada juga yang sesekali bercanda, memanggil dengan sebutan “Boss”. Pertanyaan yang paling sering didengar adalah “Apa gapgapene Boss?”, dalam Bahasa Indonesia berarti “Apa oleh-olehnya Boss?”, ada juga yang menimpali dengan candaan “Ngidaeng melieng bir Bosskuh?” dalam Bahasa Indonesia sama halnya dengan “Bisa beliin bir Bosskuh?”.
Hari-hari di desa berjalan hangat. Seperti biasa, Putu wajib mandi sebelum keluar rumah untuk hadir di acara spesial tetangga. Bertemu dengan kawan semasa kecil adalah acara spesial bagi Putu. Tampil beda dan sedikit “gagah” dianggap hal wajib bagi anak rantau yang sedang pulang ke desa. Tak dapat dipungkiri, saat di tempat rantau akses terhadap apapun sangat dekat, misalnya saja akses air untuk mandi sangatlah mudah, tinggal putar keran dan air seketika bisa digunakan untuk apa saja. Hal ini tak sama dengan apa yang terjadi di desa. Beda tempat tentu berbeda cerita pula. Saat di desa Putu harus mengeluarkan usaha lebih untuk mendapatkan akses air itu, apalagi pada saat musim kemarau, tak banyak debit air yang mengalir untuk kami. Kami harus kembali mengulang realita selama tinggal di desa dulu, ternyata nasib buruk itu benar-benar menjadi sebuah budaya yang lumrah yang terjadi di desa. Untuk merasakan nikmatnya air Putu wajib datang ke sumber air desa, jaraknya lumayan jauh untuk pejalan kaki. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, masyarakat desa harus mengatur waktu dengan baik, bagaimana waktu produktif agar tidak terganggu dengan keharusan mengangkut air selama 3 sampai 5 kali bolak-balik setiap paginya. Miris memang, ketika air adalah sumber penghidupan utama, namun banyak sekali akses air yang sulit dijangkau, belum lagi banyak tanggung jawab lain menanti.

Saat tiba di tempat pemandian atau sumber air terdekat, Putu benar-benar merasakan kembali situasi semasa ia kecil, hanya saja sekarang tempatnya sudah sangat berbeda, debit airnya mengecil, sampah plastik berserakan dimana-mana. Ada puluhan masyarakat berkumpul di sore hari, bertemu atas nama air. Ada yang sedang mencuci, ada yang menunggu giliran untuk mandi, ada yang sekedar bernyanyi, ada yang asik ngobrol, bercanda, mencuci motor, ada juga yang sekedar mesugi atau membasuh wajah karena tidak sabar untuk antri menunggu giliran. Ada juga yang lewat karena tempat pemandian itu termasuk akses jalan, yaa meskipun jalan setapak tapi masih laku untuk di desa. Pertemuan di pemandian umum sudah menjadi budaya yang lestari di desa ini. Banyak hal kami lewati bersama di desa.