Bernostalgia

12 Agustus 2025

Sebagai orang yang sangat suka berinteraksi, tentunya pertemuan dengan banyak orang menjadi salah satu percikan energi tersendiri. Dalam pertemuan biasanya ada yang saling tanya kabar, cerita kesibukan, hingga berita viral yang dengan mudahnya bisa diakses dari smartphone, dan yang jarang dilewatkan “nuturang timpal”, seperti yang biasa Putu dengar di lirik lagu itu. Obrolan seru bisa terjadi dimana-mana asalkan orang yang kita ajak ngobrol bisa nyambung dengan apa yang kita obrolkan, tidak “nyaplir” kalau dalam Bahasa Bali. Tempat tidak pernah menjadi persoalan, bisa di tempat kerja, Bale Banjar saat ibu-ibu rapat PKK, di peminuman, dan ada juga di coffee shop yang lumayan mahal dan dianggap sebagai tempat keren itu. Sebagai anak rantau, Putu sering merindukan situasi obrolan bersama teman-teman di desa, apalagi teman masa kecil. Momen nostalgia lewat obrolan itu selalu dirindukan. Seringkali Putu memberi kabar jauh-jauh hari sebelum pulang ke desa, berharap teman-teman di desa mengosongkan jadwal saat Putu pulang ke desa, untuk sekedar bercengkrama. 

Waktu pulang ke desa adalah waktu yang paling Putu tunggu. Saat perjalanan pulang, Putu harus berdamai dengan macet, kesabaran kembali diuji. “Ya, mungkin ada bus rame, maklum musim liburan, banyak pelancong datang ke Bali, kan pariwisata untuk kesejahteraan Bali,” ungkap Putu kepada anak istri untuk menyejukkan situasi. Setelah 5 jam perjalanan akhirnya Putu tiba di desa tercinta, perjalanan yang lumayan melelahkan. Meski begitu lelah, itu terbayarkan dengan sambutan ramah saudara di desa yang terasa hangat dan selalu membuat Putu nyaman berada di desa. Ada juga yang sesekali bercanda, memanggil dengan sebutan “Boss”. Pertanyaan yang paling sering didengar adalah “Apa gapgapene Boss?”, dalam Bahasa Indonesia berarti “Apa oleh-olehnya Boss?”, ada juga yang menimpali dengan candaan “Ngidaeng melieng bir Bosskuh?” dalam Bahasa Indonesia sama halnya dengan “Bisa beliin bir Bosskuh?”. 

Hari-hari di desa berjalan hangat. Seperti biasa, Putu wajib mandi sebelum keluar rumah untuk hadir di acara spesial tetangga. Bertemu dengan kawan semasa kecil adalah acara spesial bagi Putu. Tampil beda dan sedikit “gagah” dianggap hal wajib bagi anak rantau yang sedang pulang ke desa. Tak dapat dipungkiri, saat di tempat rantau akses terhadap apapun sangat dekat, misalnya saja akses air untuk mandi sangatlah mudah, tinggal putar keran dan air seketika bisa digunakan untuk apa saja. Hal ini tak sama dengan apa yang terjadi di desa. Beda tempat tentu berbeda cerita pula. Saat di desa Putu harus mengeluarkan usaha lebih untuk mendapatkan akses air itu, apalagi pada saat musim kemarau, tak banyak debit air yang mengalir untuk kami. Kami harus kembali mengulang realita selama tinggal di desa dulu, ternyata nasib buruk itu benar-benar menjadi sebuah budaya yang lumrah yang terjadi di desa. Untuk merasakan nikmatnya air Putu wajib datang ke sumber air desa, jaraknya lumayan jauh untuk pejalan kaki. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, masyarakat desa harus mengatur waktu dengan baik, bagaimana waktu produktif agar tidak terganggu dengan keharusan mengangkut air selama 3 sampai 5 kali bolak-balik setiap paginya. Miris memang, ketika air adalah sumber penghidupan utama, namun banyak sekali akses air yang sulit dijangkau, belum lagi banyak tanggung jawab lain menanti. 

Saat tiba di tempat pemandian atau sumber air terdekat, Putu benar-benar merasakan kembali situasi semasa ia kecil, hanya saja sekarang tempatnya sudah sangat berbeda, debit airnya mengecil, sampah plastik berserakan dimana-mana. Ada puluhan masyarakat berkumpul di sore hari, bertemu atas nama air. Ada yang sedang mencuci, ada yang menunggu giliran untuk mandi, ada yang sekedar bernyanyi, ada yang asik ngobrol, bercanda, mencuci motor, ada juga yang sekedar mesugi atau membasuh wajah karena tidak sabar untuk antri menunggu giliran. Ada juga yang lewat karena tempat pemandian itu termasuk akses jalan, yaa meskipun jalan setapak tapi masih laku untuk di desa. Pertemuan di pemandian umum sudah menjadi budaya yang lestari di desa ini. Banyak hal kami lewati bersama di desa.

Ruang ini akan selalu menjadi alasan untuk pulang, bertemu, bercerita, dan bernostalgia. 

Guntur Juniarta

I Gede Guntur Juniarta, lahir dan besar di Tigawasa, Buleleng. Founder dari inisiatif lokal dalam merawat bambu, bisa ditemui di @mai.kubu.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

Perempuan di Garis Depan Konflik Tambang: Ulasan Novel Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut

Latest from Berkisah

Puisi Hari Purbakala

tinggalah, ingatan.serupa nyala sekamyang tak lantas matiterkuburpadampercikannya–merah baranyamembawa kemarahanjuga harapantentang apa sajayang kita tinggalkandan apa yang tampaklapukdan lampaudi jiwanya.*puisi ini telah terbit dalam Zine

S. Ayu Pawitri Poems

Kendeng MountainAt the foot of the limestone mountainKendeng women rely ondaily lifeon dignity, on empowermenton gloryStillthe mining intrudes,changing everythingLoudly they resistReminding,“Ibu Bumi kang ngadili”Baturat

Di Atas Kasur, Di Negeriku

Di atap rumahkuTikus-tikus lalu-lalang mencari makanDi negerikuTikus-tikus berlarianmemperkaya diriDi atas kasurku Aku menangisDi atas kursi parlemenIa membuatku menangisDi rumahAku kehilangan atapDi jalananKau tembak aku.Kaki, SepatuAku

Kumpulan Puisi S. Ayu Pawitri

Bua-i-buBaru kusadarKeluhannya tak terdengarMasak telur,Dapur kotor,Sikat, sikat saja, sikatsemua Kamar mandi Penuh kotoranPagi-pagiBekerja lagi di pasar,Siapkan banten Dari pasarSampai rumahSampai kapan Ia akan jadi

Don't Miss