Bua-i-bu
Baru kusadar
Keluhannya tak terdengar
Masak telur,
Dapur kotor,
Sikat, sikat saja, sikat
semua
Kamar mandi
Penuh kotoran
Pagi-pagi
Bekerja lagi
di pasar,
Siapkan banten
Dari pasar
Sampai rumah
Sampai kapan
Ia akan jadi super woman?
Tubuh Kedua
Ada yang menyayangi dengan sembunyi
Ia Ibuku
Ada yang menyinariku setiap pagi
Ia matahari
Ada yang membasuhku tiap jam 6 sore
Ia air kehidupan
Tubuhku berjalan di atas dedaunan
Darahku mengalir di derasnya aliran sungai
Wajahku dicumbu dedaunan
dan
Wewangian bunga
Aku yang hidup diantaranya
Aku yang bernafas karenanya
Aku pula yang terpejam
dan tak pernah memberi
apapun padanya
Tubuh keduaku
Yang larut dalam air
Yang hilang dihembus
nafasku sendiri
Gelombang Dunia Ketiga
Pernah kudengar
Kata-kata yang tak kupahami
First wave feminism
menjadi kuota 30% kah?
Perempuan
yang melawan
ia melawan lewat mantra
ia melawan lewat kata
ia melawan lewat mata
Awas, awas
Arti kata tak harus dipahami semua
Sebab tindak sudah merajalela
Sukinah menghadang
Aleta menenun
dominasi
tak ubahnya setan
tapi gelombang tak berhenti
tak pula dicipta oleh Barat
semata
sebab gelombang
bukan hanya satu
ia bisa dua, tiga, empat
bahkan tak terhingga
*puisi ini terbit dalam Buku Hidup, Bercinta, dan Kencing Kucing: Antologi Puisi Gender dan Seksualitas (2023)

Kumpulan Puisi S. Ayu Pawitri
Latest from Berkisah

Bernostalgia
Sebagai orang yang sangat suka berinteraksi, tentunya pertemuan dengan banyak orang menjadi salah satu percikan energi tersendiri. Dalam pertemuan biasanya ada yang saling tanya

Puisi Hari Purbakala
tinggalah, ingatan.serupa nyala sekamyang tak lantas matiterkuburpadampercikannya–merah baranyamembawa kemarahanjuga harapantentang apa sajayang kita tinggalkandan apa yang tampaklapukdan lampaudi jiwanya.*puisi ini telah terbit dalam Zine

S. Ayu Pawitri Poems
Kendeng MountainAt the foot of the limestone mountainKendeng women rely ondaily lifeon dignity, on empowermenton gloryStillthe mining intrudes,changing everythingLoudly they resistReminding,“Ibu Bumi kang ngadili”Baturat

Di Atas Kasur, Di Negeriku
Di atap rumahkuTikus-tikus lalu-lalang mencari makanDi negerikuTikus-tikus berlarianmemperkaya diriDi atas kasurku Aku menangisDi atas kursi parlemenIa membuatku menangisDi rumahAku kehilangan atapDi jalananKau tembak aku.Kaki, SepatuAku