- Judul buku: Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut
- Penulis: Dian Purnomo
- Penerbit dan Tahun Terbit: Gramedia Pustaka Utama, 2023
- Halaman buku: 288
Apakah kita pernah benar-benar membayangkan dampak dari perampasan lahan terhadap masyarakat yang lahir, tinggal, dan hidup dari tanah yang telah mereka rawat turun-temurun?
Pernahkah kita membayangkan bagaimana sekelompok masyarakat yang terhubung dengan tanah mereka, bukan hanya sebagai sumber penghidupan, tetapi juga sebagai identitas? Lalu, bagaimana jika penghidupan itu tiba-tiba kita cabut begitu saja dari kehidupan mereka, seolah tanah tambang hanyalah bekas lahan tanpa penghuni dan tanpa nyawa? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi inti dari novel Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut karya Dian Purnomo yang mengambil latar di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Melalui novel ini, Dian Purnomo menyajikan narasi fiksi yang berakar pada konflik sosial dan ekologis perampasan lahan (land grabbing) yang dialami masyarakat adat di Sangihe akibat kehadiran perusahaan tambang. Lewat sudut pandang Mirah, seorang pekerja LSM yang ditempatkan di Sangihe, dan sahabatnya Shalom, kita diajak menyelami kehidupan sekelompok masyarakat yang tengah mempertaruhkan segalanya demi mempertahankan tanah mereka.

Lebih dari itu, Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut tidak hanya menyoroti konflik antara masyarakat adat dan perusahaan, tetapi juga mengajak kita melihat lebih dekat dampak struktural dan kultural dari ekspansi industri ekstraktif. Kehadiran perusahaan tambang di wilayah kepulauan bukan hanya mengancam ketersediaan air dan pangan, tetapi juga merenggut ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup pada alam.
Salah satu kekuatan utama novel ini adalah sorotan Dian Purnomo terhadap peran dan beban perempuan dalam pusaran konflik agraria. Melalui kondisi yang dialami oleh tokoh utama perempuan, Dian Purnomo ingin menyoroti bahwa dalam banyak kasus, perempuan menjadi pihak yang paling terdampak, sekaligus menjadi yang paling jarang disorot. Mereka tidak hanya harus memastikan dapur tetap mengepul dan anak-anak tetap mendapatkan perawatan, tetapi juga menjadi penjaga terakhir dari keberlangsungan hidup keluarga.
Ada satu kutipan yang berbunyi demikian,
“Keinginan mereka sangat sederhana: meminta negara bertanggung jawab, meminta negara menengok mereka karena tidak seharusnya seorang ibu kehilangan anaknya, jika negara memang melakukan hal yang benar.”
Dalam Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut, ketidakadilan dalam kasus-kasus perampasan lahan disampaikan dengan gamblang dan menyentuh – dengan penuh penekanan pada pesan bahwa ketika sumber daya alam terancam, perempuanlah yang pertama kali merasakan dampaknya.
Novel ini juga dengan cermat menunjukkan bahwa konflik agraria tidak pernah sesederhana hitam dan putih. Perampasan lahan tidak hanya memicu ketegangan antara masyarakat dan perusahaan, tetapi juga menimbulkan konflik horizontal di antara warga sendiri. Perbedaan kepentingan, tekanan ekonomi, serta pengaruh kekuasaan membuat batas benar dan salah menjadi kabur. Inilah yang membuat narasi dalam novel ini terasa sangat nyata dan relevan.
Bagi saya, Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut adalah sebuah seruan moral – bahwa perjuangan masyarakat adat untuk mempertahankan tanah mereka bukanlah perjuangan yang layak diabaikan. Negara, sebagai pemegang mandat konstitusional, seharusnya berpihak pada warga yang memperjuangkan hak hidup, bukan pada korporasi yang mengejar keuntungan.
Pada akhirnya, membaca Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut mengajarkan kita untuk merenung lebih dalam dan memahami, menghargai, serta berpihak kepada mereka yang selama ini terpinggirkan dari narasi pembangunan. Bahwa perjuangan masyarakat adat adalah perjuangan untuk keadilan ekologis, kultural, dan kemanusiaan.
Disclaimer: ulasan buku ini pernah terbit di Instagram @bbbookclub dalam versi yang lebih ringkas.