Bicara Tentang Ia yang Terpinggirkan 

15 Maret 2025

The God of Small Things (1997)

Arundhati Roy adalah penulis kelahiran India yang cukup intens mengisi hidup saya beberapa tahun ke belakang. Namun, pengalaman pribadi tersebut hanya segelintir alasan mengapa saya (khususnya) perlu membicarakan Arundhati Roy beserta karyanya. Gagasan Roy mengenai pembelaan terhadap sungai di India, perempuan, serta masyarakat yang terpinggirkanlah yang membuat saya merasa penting untuk mengulas karyanya. Ditambah latar belakang pengalaman perempuan dunia ketiga yang berangkat dari keinginan untuk bebas dari kolonialisasi membuat karyanya menjadi relevan untuk dibicarakan di Indonesia.

Karya-karyanya yang radikal mengenai India, perempuan, dan alam tertuang dalam novel berjudul The God of Small Things (Yang Maha Kecil). Novel yang berhasil meraih penghargaan Booker Prize tahun 1997 ini mengisahkan kehidupan seorang kembar (fraternal twins) yang lahir dari pernikahan beda agama. Novel ini juga mengisahkan berbagai hal tentang kaum-kaum minoritas (suku, ras, agama, budaya, kelas, orientasi seksual) yang dihalangi dengan berbagai hukum dan kebiasaan yang berlaku di India. Meski berangkat dengan benang merah kisah cinta dan keluarga, novel ini tidak berhenti sampai disana saja. Kompleksitas kehidupan ras, sosial, budaya, dan ekonomi yang terjadi di India juga banyak diselipkan pada novel pertamanya ini.

Novel ini sempat diterbitkan tahun 2002 oleh Yayasan Obor Indonesia. Syukurnya novel ini diterbitkan kembali pada tahun 2018 oleh Noura Books. The God of Small Things berlatar di sebuah daerah di India bernama Kerala, daerah yang begitu identik dengan kehidupan sosio-kultural yang beragam. Berbagai macam agama tumbuh beriringan dengan tumbuh suburnya komunisme di daerah barat daya India itu.

Cerita pada novel dimulai dengan kisah dua anak kembar bernama Rahel dan Esthappen. Mereka adalah saudara kembar dari dua telur yang berbeda, atau dalam bahasa kedokteran diistilahkan sebagai dizygotic. Rahel dan Estha adalah anak yang lahir dari orang tua dengan latar agama berbeda. Ibunya Ammu adalah seorang Kristen Syria, sementara ayahnya adalah seorang penganut Hindu (kawin campur).

Ammu adalah seorang perempuan yang tidak berhak atas warisan keluarga, ia juga telah menikah dengan pemuda Hindu, lalu bercerai. Keadaan yang dialami Ammu dianggap sebagai aib yang berlipat ganda. Di India, apabila seorang perempuan menikah dengan laki-laki yang berbeda agama maka ia dianggap hina, bahkan oleh keluarganya sendiri.

Yang maha kecil

Ammu adalah anak perempuan dari seorang saudagar acar, Pappachi dan Mamachi. Saat remaja dulu, Ammu tidak pernah memiliki pilihan lain seperti melanjutkan pendidikan tinggi, sebab menurut ayahnya, perempuan yang melanjutkan sekolah hanya akan menyebabkan pemborosan. Setelah menikah, penderitaan tersebut tak juga usai, Ammu telah menikahi lelaki yang salah karena sering mabuk, main tangan dan berselingkuh dengan perempuan lain. Penderitaan yang ditanggung Ammu sebagai perempuan dipaparkan oleh Roy sebagai gambaran dan sindiran serius tentang sistem patriarki yang masih dilanggengkan dalam tatanan terkecil di India, yaitu keluarga.

Ketidakadilan yang dirasakan Ammu tidak hanya berhenti dalam skala keluarga, sistem yang patriarkis juga dipertontonkan pada bab awal novel ini. Bagaimana polisi menepuk dada Ammu dengan tongkat komando layaknya barang, tak kurang dan tak lebih. Perlakuan tersebut selalu dilakukan oleh mereka yang memiliki kuasa dominan. Perempuan selalu dianggap sebagai objek dan dinomorduakan, barangkali itulah yang ingin disampaikan Arundhati Roy dalam novel pertamanya ini.

Pengalaman Ammu sebagai perempuan India diceritakan begitu kompleks, selain karena ia menikahi seorang Hindu, kini ia juga menyandang status janda. Terlebih lagi janda dengan dua anak yang kini jatuh cinta dan menjalin kasih dengan pemuda dari kasta terendah di India, pemuda itu bernama Velutha. Kasta terendah atau biasa disebut sebagai kaum untouchable adalah orang-orang yang tidak layak disentuh apalagi oleh mereka yang status sosial dan ekonominya dianggap lebih tinggi.

Perlakuan buruk tidak hanya diterima Ammu dan Velutha, sebab hal itu menurun pada perlakuan orang-orang terhadap anaknya, Rahel dan Estha. Di mata keluarganya, anak kembar ini tidak ada apa-apanya dibanding sepupunya yang berdarah setengah Inggris. Sophie Mol digambarkan sebagai seorang anak half-wog (setengah Inggris) sementara Rahel dan Estha hanya seorang wog (bukan seorang kulit putih). Dalam keluarganya, Sophie Mol selalu dibanggakan karena kepandaiannya berbahasa Inggris. Menurut keluarganya, kebudayaan yang berasal dari barat adalah standar yang tertinggi.

Dalam novel ini, Roy menggambarkan kehidupan masyarakat India yang paradoks. Di satu sisi, India memang sudah keluar dari kolonialisasi Inggris, namun hal itu justru melahirkan penjajahan-penjajahan baru di India. Bedanya, penjajahan dilakukan oleh sesama India, pola penjajahan yang dilakukan cenderung sama–yang kuat menindas yang lemah, yang maha besar (orang yang berkuasa) dapat seenaknya menindas mereka yang memiliki kasta dan kelas ekonomi rendah. Dari sanalah Roy menggambarkan yang maha kecil ini sebagai kaum-kaum yang terpinggirkan dan tidak diikutsertakan dalam kelompok masyarakat tertentu.

Roy memaparkan pos kolonialisme yang terjadi di India, melalui kebanggaan keluarga ini terhadap budaya anglo-saxon serta beberapa kemarahan yang dituangkan Roy melalui penggambaran sungai India yang kotor dan pestisida yang dibeli dengan berhutang kepada Bank Dunia. Praktik-praktik tersebut merupakan ketertindasan negara bekas jajahan yang masih mengadopsi mental kolonialisme.

Apa yang dihadirkan Roy melalui novelnya memang membuat kita geleng-geleng kepala. Arundhati Roy mampu mengemas berbagai macam permasalahan yang terjadi di daerah barat daya India ini dengan bahasa yang indah serta alur yang cukup rumit. Meski demikian, banyak hal yang dapat diperbincangkan ketika membaca The God of Small Things, praktik-praktik yang terjadi di India justru sangat relevan dengan keseharian kita (Indonesia) yang masih melanggengkan budaya patriarkis, kekerasan sistemik; dari rumah tangga atau negara, kuasa dominan, serta isu-isu poskolonialisme.

Pemisahan individu atas ras, kasta, agama, dan orientasi seksual dalam novel ini menggambarkan narasi besar yang mencoba mendominasi kaum minoritas atau yang disebut Roy sebagai yang maha kecil. Tentu saja Arundhati Roy tidak ingin terjebak dalam hegemoni kekuasaan itu, secara sadar ia mendobrak kemapanan dan sistem yang selama ini dilanggengkan di India dengan menghadirkan percintaan terlarang antara Ammu dan Velutha. Di bab terakhirlah Roy mengeksplorasi kisah cinta mereka dengan adegan yang dianggap vulgar oleh beberapa kalangan di India pada saat itu. Karena keberaniannya keluar dari norma yang berlaku di India, novel ini mendapat pro dan kontra di negaranya sendiri. Roy dianggap keluar dari tatanan masyarakat India pada umumnya. Barangkali pro-kontra terjadi bukan karena adegan vulgar yang disajikan Roy dalam novel ini, melainkan karena gugatan Arundhati Roy terhadap pemisahan kelas telah mengusik ‘kemapanan’ sebagian orang di India.

Judul           : The God of Small Things

Penulis         : Arundhati Roy

Penerjemah : Reni Indardini

Penerbit       : Noura Books

Tebal           : 508 halaman

Si Luh Ayu Pawitri

A woman. Juggling in between work, life, poem, zine, nature, waste etc.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

Sejarah Ekofeminisme dan Gerakan Chipko di India

Next Story

Kopi dan Budaya untuk Terjaga 

Latest from Ulasan

Rahim yang Berbicara 

Budaya patriarki yang masih dominan dianut di Indonesia menyebabkan segala lini baik dalam keseharian, pendidikan, kebudayaan, bahkan seni membuat perempuan (secara sengaja atau tidak)

As I Want: Suara Kami Akan Lebih Lantang Lagi 

*Caution Trigger Warning* “Why is giving birth to a girl a lifelong worry?” Photo Credits: https://cineuropa.org/film/397408/ Seorang perempuan yang sedang mengandung tampak mengelus-elus perutnya.

Don't Miss